Felani Galih Prabawa

31 Oktober 2013

Polemik Pendidikan Bangsa Indonesia

12.48 Posted by Felani Galih Prabawa , 1 comment
Pendidikan memiliki kata dasar didik yang artinya merupakan sebuah ajaran dan bimbingan. Kemudian dalam kata didik itu diberikan imbuhan awal pe- dan akhiran –an, sehingga menjelaskan kepada khalayak ramai bahwasanya pendidikan itu adalah wadah untuk mendapatkan sebuah pelajaran, bimbingan, dan pengalaman bagi setiap orang khususnya di Indonesia ini.

Pendidikan adalah hal yang sangat sensitif dan penuh argumen apabila kita berani untuk sesekali membicarakan tentang hal ini. Ya tentu saja, ditambah dengan keadaan pendidikan di Indonesia saat ini yang semakin tidak jelas tujuan dan sasarannya, hingga kursi-kursi pendidikan pun dapat dimonopoli oleh oknum-oknum yang tak tahu diri. Itu merupakan segelintir isu kecil saja dari sekian banyak isu tentang pendidikan di Indonesia.


Miris sekali apabila menilik dan memperhatikan pendidikan di Indonesia pada zaman sekarang ini. Kecacatan pendidikan antara daerah terpencil dengan daerah kota sangat terlihat jelas. Ketika di daerah kota sana siswa-siswi belajar dengan gedung yang megah, kursi yang nyaman, kelas yang sejuk, kurikulum yang fresh, dan segala fasilitas lain yang memang sudah canggih dan terkini. Tetapi jauh di daerah pelosok sana siswa-siswi tak jarang harus mengarungi sungai yang deras, perkebunan, berjalan kaki beberapa kilometer untuk ke sekolah, belajar dengan kelas yang seadanya, kursi yang tak nyaman, ditambah dengan bangunan sekolah yang apabila hujan mereka semua harus menyelamatkan buku catatan mereka yang berisikan ilmu pengetahuan dari tetesan air hujan yang menetes di atap bangunan. Walaupun begitu, semangat siswa-siswi di daerah pelosok tak kalah hebatnya dibanding siswa-siswi di daerah kota.

Bila Haji Rhoma Irama berkata dalam syairnya, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”, maka saya pun berkata dalam syair, “yang pintar semakin pintar, yang bodoh semakin bodoh”. Mengapa demikian?


Pendidikan di Indonesia saat ini sama dengan memilih menu makanan di warteg. Apabila kita ingin makan makanan yang mewah dan bergizi, maka kita harus mengeluarkan biaya yang lebih. Tapi apabila kita hanya memiliki uang yang seadanya, maka makanan yang kita dapatkan di warteg itu pun seadanya. Dan tak jarang ketika tak punya uang, maka kita tidak makan. Begitulah analogi dari pendidikan di Indonesia saat ini.

Mereka yang berlimpahan materi pastilah akan dengan mudah mendapatkan pendidikan yang sangat mewah dan diimpikan (benarkan?). Coba perhatikan mereka yang berlimpahan harta, tentu mereka semua memiliki tingkat intelektual yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hanya mengenyam pendidikan seadanya. Bagaimana tidak lebih pintar, orang tua mereka pasti akan memberikan bimbingan belajar di luar sekolah yang jauh lebih intensif dan memberikan pemahaman yang mendalam akan materi pelajaran. Sudah terbilang banyak orang-orang seperti itu di Negeri kita ini.

Mereka yang berada pada tingkat ekonomi menengah pun tentunya akan menjalani dan mengenyam pendidikan, namun yang biasa saja. Artinya bila tak memiliki determinasi yang tinggi maka ia akan mendapatkan hal yang biasa saja. Seperti apa yang dikatakan Einstein, “ada dua cara menjalani hidup ini,biasa-biasa saja atau penuh dengan keajaiban”. Jadi, mereka akan merasakan manisnya kesuksesan apabila mengenyam pendidikan dengan bermodalkan kesungguhan, nekat dan faktor keberuntungan. Jika demikian, tentu mereka akan memiliki ilmu yang sebanding serta kesuksesan yang setara dengan mereka yang memiliki harta berlimpah. Biasanya tingkat ekonomi ini mampu menjadi pelecut semangat dan determinasi tersendiri bagi mereka. Di kalangan ekonomi menengah ini pun tak kalah banyak yang mengalami kesuksesan hidup dan bahkan bisa melebihi mereka yang berada di kalangan atas.

Kedua hal di atas merupakan contoh yang terlihat di era sekarang ini. Meskipun mereka berada pada tingkat ekonomi yang berbeda, tapi mereka masih bisa kenyang dengan makanan yang ia telan. Dengan kata lain, mereka masih bisa bersekolah dan mendapatkan ilmu tanpa kesulitan apapun, baik itu dari segi biaya ataupun kegiatan belajar mengajar. Namun, yang lebih miris adalah kurangnya perhatian kepada mereka yang tidak memiliki uang untuk makan dan bahkan rela untuk tidak makan. Mereka tidak memiliki biaya untuk sekolah, beasiswa pun termakan oleh mereka yang pintar padahal berharta, semangat mereka rapuh, dan setiap harinya mereka hanya mengharapkan datangnya sosok Ki Hajar Dewantara kembali ke pangkuan mereka dan mengayomi mereka. Pastilah Ki Hajar Dewantara pun menangis bila melihat secara langsung kecacatan ini, sudah tak ada lagi yang memperhatikan kalangan kecil yang hanya bermodalkan semangat. Pemerintah pun seakan tak mau tahu tentang ketimpangan ini, mereka seperti dibutakan dengan jabatan mereka. Dulu mereka berjanji untuk mengabdi dengan ikhlas kepada masyarakat tetapi kenyataannya tak sesuai dengan perkataannya sendiri.

Sudah terbukti bahwa orang-orang pinggiran sana terabaikan, sudah banyak reality show di televisi mengungkap kecacatan ini, dan sudah tampak pula tanggapan kosong pemerintah akan hal ini. Pemerintah sepertinya tak ingin tahu tentang hal ini, mereka hanya fokus kepada tugas pemerintahan lainnya yang padahal sektor ini lebih penting dan lebih utama untuk mendapatkan perhatian serta tindakan bijak.

Mereka (orang-orang pinggiran) adalah orang penuh potensi, orang yang tekun, dan orang yang memiliki semangat belajar tinggi. Ini terbukti ketika mereka mau berangkat sekolah meski perjalanan mereka untuk ke sekolah menantang maut. Apabila anak-anak yang berada di kota dihadapkan pada kondisi seperti ini, mungkin mereka sudah menyerah dan malas bersekolah. Hujan sedikit pun malas, apalagi harus mengarungi sungai yang deras untuk pergi ke sekolah.

Mungkin bagi kalangan ekonomi atas dan menengah sudah tak perlu mendapatkan perhatian lebih, dengan kata lain biarkanlah mereka mandiri. Justru siswa-siswi di pelosok sanalah yang semestinya mendapatkan perhatian lebih. Inilah ketimpangan yang nampak dari pemerintah sekarang ini. Beliau-beliau yang sekarang kerjanya duduk manis menjadi wakil rakyat di DPR sana seperti lupa akan tujuan Negara ini yang tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu, “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Siapa itu bangsa? Bangsa adalah kita semua, tak ada sekat pemisah dan tak ada perlakuan berbeda untuk setiap golongan, begitupun dalam bidang pendidikan.

Dalam pemikiran saya, sebenarnya pemerintah tak perlu memberlaksanakan Sekolah Berstandar Internasional. Toh ijazah pun masih sama dengan sekolah reguler, kan? Bahkan parameter kelulusan pun sama dengan siswa-siswi yang ada di pinggiran sana, yaitu dengan melaksanakan Ujian Nasional yang soal ujiannya pun sama semua se-Indonesia. Saya turut berbelas kasihan kepada mereka yang ada di sekolah berstandar internasional itu, karena bisa-bisanya titel internasional hanya mendapatkan ijazah nasional saja. Seharusnya ijazahnya pun berstandar internasional. Dan saya lebih berbelas kasihan lagi kepada siswa-siswi di pinggiran sana yang masih memerlukan gedung sekolah untuk belajar. Sedangkan di kota, sekolah-sekolah sedang berpacu untuk menjadi sekolah yang berprestasi, berakreditasi bagus, bermutu, dan berstandar internasional.

Seharusnya pemerintah meratakan pendidikan di Indonesia dengan cara menyeimbangkan kualitas sebuah sekolah diseluruh Indonesia, jangan maju dan terdepan sendiri saja. Jika dari Sabang sampai Merauke sekolah-sekolah telah seimbang, baik itu dari segi bangunan, pengajar, dan fasilitas lainnya, maka barulah boleh untuk menaikkan mutu sekolah, misalnya dengan mengadakan sekolah bertaraf internasional itu.

Bila pemerataan itu telah terlaksana, pasti lambat laun kualitas pendidikan di Indonesia akan menanjak dan tak kalah dengan Negara lain. Ketika Jepang diserang oleh sekutu, mereka tak langsung berubah menjadi Negara maju, tapi mereka justru membangun ulang pemerintahan khususnya dibidang pendidikan. Dan dengan dimulai dari tahap awal itulah, Jepang mampu bangkit dan berubah sedikit demi sedikit hingga menjadi Negara maju seperti yang kita lihat sekarang ini. Tapi, jika pemerintah masih mengatur program pendidikan dengan cara yang timpang ini, maka benarlah yang pintar akan semakin pintar dan yang bodoh akan semakin terpuruk.

Pada masa kemerdekaan ini, seharusnya orang-orang pinggiran pun mampu merasakan manisnya pandidikan yang layak, bermutu, dan terjangkau, karena hakikat dari sebuah kemerdekaan adalah kebebasan atas segalanya serta kesejahteraan bagi bangsanya, dan hakikat dari pendidikan adalah mewadahi bangsa Indonesia untuk lebih mengenal ilmu agar bangsa ini mampu menjadi bangsa yang cerdas juga memliki tingkat intelektualitas yang tinggi.

Indonesia pada masa depan nanti tergantung dari apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di masa sekarang. Jika terus menerus terjadi kecacatan dari sektor pendidikan, maka Indonesia akan berkembang bukan menjadi Negara maju, melainkan menjadi Negara yang hancur. Karena bibit-bibit potensi di Indonesia tidak sepenuhnya merasakan pendidikan yang layak dan bermutu. Pendidikan adalah hal utama demi kemajuan Negara dan bangsa.

*UNTAIAN KATA UNTUK PARA PEMIMPIN BANGSA

“Wahai pemimpin yang terhormat…

Mereka berasal dari sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota. Mereka tak punya apa-apa, melainkan semangat. Mereka pun ingin mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu seperti orang-orang di kota sana. Mereka pun ingin berprestasi di negerinya sendiri, dan mereka pun ingin setidaknya mendapatkan guru pengajar dan ruang kelas yang lebih banyak. Apa salah jika mereka merasakan akan perbedaan ini?

Yaa amirul fii hadzihil baldah…

Tiap hari mereka semangat untuk memperoleh pendidikan. Menerjang sungai yang deras, melewati jalanan terjal, berjalan kaki berkilo-kilometer demi mendapatkan sebuah pelajaran agar hidup mereka cerah dan berilmu. Tidakkah kau sedih atau kasihan ketika melihat keadaan ini, yaa amiir?

Wahai pemimpin bangsa…

Banyak orang bilang bahwa orang-orang pinggiran itu adalah orang yang tertinggal. Tetapi bagi saya, pernyataan itu salah besar. mereka bukanlah orang-orang yang tertinggal, tapi mereka adalah orang-orang yang ditinggalkan oleh laju pemerintahan dan pembangunan yang dahsyat ini.

Ayolah para pemimpin bangsa...

Mari kita atur ulang roda pemerintahan ini. Lihatlah sektor pendidikan untuk orang-orang pinggiran sana, berilah janji-janji yang nyata untuk mereka, jangan kalian membodohi mereka dengan janji-janji paslumu. Mereka ingin mendapatkan pendidikan yang layak dan ingin merasakan makna sebenarnya dari kemerdekaan Indonesia yang sudah 68 tahun ini.”

1 komentar:

Thanks you, visitors.